Selasa, 12 Januari 2010

Menjaga Ibadah Shalat Wajib berjama'ah

pengingatkita. Identitas seorang muslim tidak terlepas dari amaliyah ibadah shalat, karena shalat merupakan ciri yang membedakan antara pribadi muslim dengan orang kafir. Orang muslim yang Islamnya benar, pasti melakukan ibadah shalat penuh dengan kesungguhan dan kekhusyu’an seraya berjamaah. Sedangkan bagi mereka yang Islamnya hanya pengakuan saja, shalat hanya sekedar lambang atau keinginan untuk mendapatkan pengakuan. Padahal, shalat bukanlah sekumpulan gerakan dan bacaan yang kosong dari makna dan tujuan, tetapi ia adalah ibadah yang mengandung arti yang dalam dan berisi pelajaran yang berharga.

Shalat adalah kunci diterima atau tidaknya semua amal manusia. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Amal yang pertama kali dihisab dari amalan seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya, maka jika shalatnya baik, berbahagialah dia, dan jika shalatnya rusak, rugilah dia dan sia-sialah usahanya.” (HR. Thabrani)
Imam Ahmad dalam sebuah nasihat kepada putranya Abdullah pernah berkata; “Hai anakku, Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam telah menegaskan:“Tidak ada keberuntungan sama sekali dalam Islam untuk orang yang meninggalkan shalat.”
Lebih lanjut Iman Ahmad berkata, Umar bin Khaththab pernah mengirim surat peringatan kepada semua wali negeri (gubernur), di dalamnya beliau berkata: “Hai para wali, sesungguhnya tugas yang aku pandang paling penting adalah shalat. Maka barangsiapa memelihara shalat, niscaya dia telah memelihara agamanya. Orang yang menyia-nyiakan shalat, maka ibadah lainnya pasti lebih dia sia-siakan. Tidak ada bagian apa-apa dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” Karena itu, hai Abdullah, orang yang menyia-nyiakan shalat dan meremehkannya berarti ia menyia-nyiakan dan meremehkan Islam. Keberuntungan seorang hamba dalam Islam adalah menurut keberuntungan yang ia peroleh dalam shalat, kesenangan mereka kepada Islam, adalah menurut kesenangannya kepada shalat.”
Ingatlah akan dirimu hai Abdullah dan waspadalah, jangan sampai kamu menjumpai Allah dalam keadaan tidak menghargai Islam. Kadar penghargaan yang diberikan seseorang kepada Islam adalah sekedar harga shalat dalam jiwanya.”
Nasihat Imam Ahmad kepada anaknya di atas hakekatnya ditujukan kepada umat Islam umumnya. Bagaimana selaku orang beriman tidak menyia-nyiakan ibadah shalat yang juga sebagai ciri—rukun Islam—dari keberadaan kita sebagai muslim. Peringatan itu juga menunjukan begitu tingginya kedudukan shalat dalam syariat Islam, oleh karenanya tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk tidak melaksanakan dan menjaganya dengan baik.
Di antara menjaga shalat yang baik adalah melaksanakannya secara khusyu’ dan berjama’ah.
Shalat yang Khusyu’
Menurut kebanyakan ulama yang dimaksud dengan khusyu’ adalah, “Menundukkan menenangkan hati serta anggota badan kepada Allah Suhanahu Wa Ta’ala.”
Jadi, shalat seseorang dapat dikatakan khusyu’ manakala selama shalat tersebut hati dan pikirannya senantiasa tertuju kepada Allah Ta’ala. Rasulullah Shalalahu Alaihi Wasallam bersabda: “Bahwasanya seorang hamba sungguh mengerjakan shalat, padahal tidak ditulis baginya kecuali setengahnya, sepertiganya, seperempatnya, seperlimanya sampai sepersepuluhnya. Sesungguhnya yang ditulis untuk seseorang dari shalatnya hanyalah sekedar yang dapat ia pahami dari padanya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud dari Amar bin Yasir)
Adapun cara untuk mengkhusyu’kan shalat antara lain; Ihsan, yaitu merasa diawasi Allah yang Maha Kuasa. Memahami makna bacaan Qur’an dan dzikir-dzikir yang dibaca dan menghayati kandungannya. Memanjangkan ruku’ dan sujudnya. Muhammad Al-Bahry berkata, “Di antara pekerjaan yang menghasilkan khusyu’ adalah memanjangkan ruku’ dan sujudnya.”
Jangan memain-mainkan anggota badan. Hendaknya memandang ketempat sujud walaupun bermata buta atau shalat di samping Ka’bah. Berupaya menjauhkan diri dari segala hal yang membimbangkan hati. Karena itu jangan shalat di atas tikar atau sajadah yang bergambar dan jangan shalat sambil menahan buang air besar atau kecil.
Dengan upaya-upaya di atas, diharapkan shalat yang dilaksanakan lebih mendekatkan kepada kekusyu’an dalam shalat. Sehingga ibadah shalat yang dikerjakan minimal lima kali dalam sehari ini tidak menjadikan kita orang-orang merugi.

Shalat Berjama'ah

Begitu tinggi nilai yang Allah berikan kepada orang mukmin yang shalat dengan berjama'ah, sehingga Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam pun bersabda: “Shalat berjama’ah itu lebih utama dari pada shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra.)
Tak heran jika Islam sangat menuntut agar muslimin melaksanakan shalat bejama'ah di setiap masjid. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 34)

Menurut catatan kaki “Al-Qur’an dan terjemahnya” Departemen Agama RI, yang dimaksud dengan kalimat “ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ adalah shalat berjama'ah.
Pada ayat lain Allah berfirman, “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kecuali kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-taubah: 18)

Dari kedua firman Allah di atas, bisa disimpulkan shalat berjama’ah itu wajib bagi setiap mukmin laki-laki, tidak ada keringanan untuk meninggalkannya kecuali ada udzur (yang dibenarkan dalam agama). Hadis-hadis yang merupakan dalil tentang hukum ini sangat banyak, di antaranya:

Hadis shahih dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, “Telah datang kepada Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam seorang lelaki buta, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak punya orang yang bisa menuntunku ke masjid, lalu dia mohon kepada Rasulullah agar diberi keringanan dan cukup shalat di rumahnya.’ Maka Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Ketika dia berpaling untuk pulang, beliau (Rasulullah) memanggilnya, seraya berkata, ‘Apakah engkau mendengar suara adzan (panggilan) shalat?’, ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Maka hendaklah kau penuhi (panggilah itu)’”. (HR. Muslim)

Rasulullah bersabda: “Barangsiapa pergi ke masjid baik pagi atau sore hari, maka Allah akan menyediakan satu tempat tingal di surga setiap kali dia pergi.” (Muttafaq Alaih)

Ibnu Mas’ud berkata: “Barangsiapa ingin berjumpa dengan Allah sebagai seorang muslim, hendaklah benar-benar menjaga shalat pada waktunya ketika mendengar suara adzan. Sesungguhnya Allah telah menganjurkan kepada Nabimu langkah-langkah untuk mendapatkan kebaikan yaitu, shalat berjama’ah di masjid yang diserukan adzan di dalamnya. Seandainya kamu shalat di rumahmu…maka berarti kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu. Jika kamu meninggalkan sunnah Nabimu, maka sesatlah kamu.”

Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Barangsiapa dari tetangga masjid mendengar seruan adzan lalu dia tidak memenuhinya sedang dia dalam keadaan sehat, tidak ada udzur (halangan), maka tidak ada shalat baginya.”

Diriwayatkan, suatu saat Khalifah Umar bin Khathab mendapati beberapa kelompok yang tidak shalat berjama'ah. Maka beliau bertanya: “Apa sebabnya orang-orang itu tidak datang? Hendaknya mereka datang ke masjid atau saya kirimkan kepada mereka orang-orang yang akan menebas batang leher mereka.” Kemudian Umar berseru dengan suara yang lantang, “Datanglah ke shalat jama'ah, datanglah ke shalat jama'ah, datanglah ke shalat jama'ah!”

Ibnu Abas berkata: “Barangsiapa mendengar seseorang yang adzan, dan tidak memenuhinya, maka jelas orang itu tidak dikehendaki Allah menjadi orang baik dan tidak pula menghendaki adanya kebaikan untuk dirinya.”

Demikianlah firman Allah, hadis Nabi dan komentar para tokoh sahabat tentang pentingnya shalat berjama'ah di masjid. Sedangkan ulama sesudah mereka, khususnya para imam-imam madzhab walaupun berbeda pendapat dalam menentukan hukumnya, namun mereka bersepakat meninggalkan shalat berjama'ah tanpa ada udzur adalah perbuatan yang sangat tercela. Para ulama madzhab Hanafi dan Maliki bahkan menetapkan bahwa meninggalkan shalat berjama'ah adalah berdosa, walaupun mereka menghukuminya sebagai sunnah muakkad.

Adapun udzur yang di bolehkan untuk meniggalkan shalat berjama'ah ialah: sakit atau bepergian. Mengerjakan hal yang sangat perlu, misalnya sangat lapar, perlu makan dahulu. Takut kehilangan harta, atau takut terhadap suatu gangguan, atau sedang sangat mengantuk. Takut akan gangguan hujan, Lumpur, banjir, angin topan, dan keadaan sangat gelap gulita.
Bila kita renungkan uraian di atas, ternyata shalat berjamaah harus dilaksanakan di masjid, yang suara adzan sampai pada rumahnya, kecuali jika ada udzur yang dibolehkan, maka barulah dilaksanakan di rumah, namun tidak bagi kaum muslimat. Bagi mereka, shalat di rumah lebih utama daripada shalat di masjid. Ini berdasarkan larangan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam kepada suami atau wali agar tidak menghalangi kaum muslimat mengikuti shalat berjamaah di masjid.

Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu menghalangi para wanita keluar ke masjid, sedang rumah-rumah mereka lebih baik baginya.” (HR. Abu Daud dari Ibnu Umar)

Dalam hadis lain “Jangan kamu menghalangi hamba-hamba Allah (para wanita) pergi ke masjid Allah. Dan hendaklah mereka keluar ke masjid dengan tanpa wewangian.” (HR. Abi Daud dari Abu Hurairah)

Terkait hal di atas, Prof. Dr. Hasbi Ash Shiddiqy setelah mengedepankan hadis-hadis tentang larangan “mencegah kaum wanita pergi ke masjid” dan hadis yang menerangkan “kaum wanita lebih utama shalat di masjid” berkomentar sebagai berikut;

“Apabila hadis-hadis dalam masalah ini dikumpulkan semuanya dan di artikan satu per satu condong kepada pendapat Ibnu Harun, yakni: ‘Bukanlah yang lebih utama bagi wanita shalat di rumahnya melainkan lebih utama bagi mereka shalat dengan berjamaah di masjid (dekat rumahnya). Hadis yang menerangkan bahwa para wanita lebih baik shalat di rumahnya, tak ada yang terlepas catatan atau dipermasalahkan keshahihannya. Andaikata kita pandang shahih, maka dia berlawanan dengan hadis yang nyata-nyata keshahihannya dan perintah nabi sendiri supaya wanita pergi ke tanah lapang pada hari Ied. Sekirannya para wanita lebih baik shalat di rumah, tentulah para wanita sahabat tidak bersusah payah keluar di malam hari dan di waktu pagi hari untuk shalat berjamaah bersama Nabi di masjid. Seluruh ahli ilmu menetapkan bahwa Nabi tidak pernah melarang para wanita menghadiri shalat berjamaah di masjid. Juga para Khulafaur Rasyyidin tidak pernah mengeluarkan larangan untuk itu. Jika demikian, nyatalah bahwa perginya para wanita ke masjid adalah suatu “amalul ghoiri” suatu amal kebajikan dan kebaikan. Jika tidak, tentulah Nabi tidak akan membiarkan para wanita pergi ke masjid.”

Kesimpulan:
1. Secara umum, hukum sholat berjama’ah bagi laki-laki yang telah baligh adalah wajib ‘ain. Akan tetapi secara khusus atau dalam kasus-kasus tertentu ada beberapa perincian lagi. Semisal, bagi seorang laki-laki yang bertugas menjaga keamanan umum seperti di warnet (yang tidak ada pengganti penjaga wanita sehingga mengharuskan dia menjaga sendirian dalam waktu-waktu tertentu) atau menjadi tukang parkir maka mereka tidak diwajibkan untuk sholat berjama’ah. Sebagaimana yang telah difatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh al Utsaimin.
2. Dan bagi wanita, tempat sholat yang terbaik adalah dirumahnya atau tidak dimasjid sebagaimana yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Rosululloh bersabda : Sebaik-baik masjid bagi wanita adalah di dalam rumah-rumah mereka. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi). Akan tetapi jika ingin ikut berjama’ah dimasjid juga tidak apa-apa asalkan memenuhi syarat seperti tidak memakai parfum, langsung memakai mukena dari rumah (atau singkat kata, ketika keluar rumah sudah menutupi aurot), mengambil shof paling belakang dan tidak berdesak-desakan dengan laki-laki yang bukan mahrom ketika masuk atau keluar masjid.
3. Janganlah Anda menjadi orang yang paling semangat untuk membangun sebuah masjid akan tetapi Anda menjadi orang yang paling malas dalam memakmurkan masjid (maksudnya, melakukan sholat berjama’ah). Akan tetapi, jadilah Anda sebagai orang yang paling semangat untuk membangun serta memakmurkan sebuah masjid.

sumber :
http://els.fk.umy.ac.id/mod/forum/discuss.php?d=3344
http://syabab1924.blog.friendster.com/about/

Membeli Kesuksesan Dengan Sedekah

renungankita "Mengapa seseorang selalu merasa kurang secara penghasilan? Mungkin karena ia kurang sedekah!” buka Ustad Yusuf Mansur malam itu. Beliau melirik sekelilingnya. Wajah-wajah muda, dengan tatapan penuh semangat tengah duduk mengelilinginya. Mereka adalah 20 besar kontestan eliminasi Mimbar Dai TPI. Mereka tekun menyimak penuturan ustad pendiri Wisata Hati Coorporation itu. Malam itu, tanggal 12 Juli 2005, Ustad Yusuf mendapat kesempatan memberikan pembekalan atau pelatihan bagi para dai muda di Asrama Haji Pondok Gede, Bekasi. Acara yang diselenggarakan habis Isya sampai pukul 21.00 itu, berlangsung cukup seru. Dilengkapi beberapa games, salah satunya berupa simulasi dengan selembar kertas, yang mengundang tanya peserta. Banyak orang yang memiliki penghasilan besar, namun selalu merasa tidak cukup. Bahkan tidak jarang pengeluaran mereka lebih besar dari penghasilan yang didapat. Mungkin diri kita pernah merasakan demikian. Maka instropeksilah, mungkin sedekah yang kita keluarkan terlalu sedikit, sehingga berkah yang Allah berikan juga sekedarnya. Padahal dalam surat Al An’am ayat 160, Allah sudah janji akan melipatgandakan pahala sampai 10 kali lipat bagi mereka yang berbuat kebaikan. Jadi sebetulnya kita tak perlu ragu untuk menyisihkan penghasilan bagi mereka yang membutuhkan. 1 – 1 = 10, itulah ilmu sedekah. Banyak kejadian dibalik fenomena keajaiban sedekah.

Dalam kesempatan tersebut, Ustad Yusuf memaparkan beberapa kisah yang Insya Allah mampu meningkatkan keyakinan kita, bahwa Allah pasti akan melipatgandakan pahala-Nya, bila kita sedekah. Contohlah sebuah kisah tentang seorang supir yang mengeluh karena gajinya terlalu kecil.

“Supir ini datang ke Klinik Spiritual dan Konseling Wisata Hati. Dia bilang gajinya cuma 800 ribu, padahal anaknya lima! Ia ingin gajinya jadi 1,5 juta!” ujar Ustad Yusuf sambil duduk bersila di permadani.

Dengan bijak, Ustad Yusuf mengajak supir itu mensyukuri terlebih dahulu apa yang telah didapatkannya selama ini. Kemudian ia menunjukkan surat Al An’am 160 dan surat 65 ayat 7, mengenai anjuran bagi yang kaya untuk membagi kekayaannya dan yang mampu membagi kemampuannya.

Supir itu lantas bertanya,”Kapan ayat-ayat itu dibaca dan berapa kali, Ustad?” “Nah, inilah kelemahan orang kita,” potong Ustad Yusuf sejenak, “Qur’an hanya untuk dibaca!”

Agak kesal dengan pertanyaan sang supir, Ustad Yusuf menyuruhnya segera berdiri. Kemudian ia bertanya, ”Maaf… boleh saya tanya pertanyaan yang sifatnya pribadi? ”Supir itu mengangguk. “Nggak bakal tersinggung?” Kembali supir itu mengangguk. “Bawa duit berapa di dompet?” desak Ustad Yusuf. Supir itu mengeluarkan uangnya dalam dompet, jumlahnya seratus ribu rupiah. Langsung Ustad Yusuf mengambilnya. “Nah, uang ini akan saya sedekahkan, ikhlas?”

Supir itu menggaruk-garukkan kepalanya, namun sejurus kemudian mengangguk dengan terpaksa. “Dalam tujuh hari kerja, akan ada balasan dari Allah!” “Kalau nggak, Ustad?” “Uangnya saya kembaliin!”

Mulailah sejak itu ia menghitung hari. Hari pertama tidak ada apa-apa, demikian pula hari kedua, bahkan pada hari ketiga uangnya hilang sejumlah 25 ribu rupiah. Rupanya ketika ditanya Ustad Yusuf tempo hari, sebenarnya ia bawa uang 125 ribu rupiah, namun keselip.

Pada hari keempat supir itu diminta atasannya untuk mengantar ke Jawa Tengah. Selama empat hari empat malam mereka pergi. Begitu kembali, atasannya memberikan sebuah amplop, “Ini hadiah istri kamu yang kesepian di rumah,” begitu katanya.

Ketika amplop itu dibuka, Subhanallah…. Jumlahnya 1,5 juta rupiah. Para dai muda yang menyimak cerita itu terkagum-kagum.

Kemudian ustad Yusuf bertanya, “Siapa yang belum nikah?” serentak hampir semua peserta mengacungkan tangan dengan semangat, seraya bergurau. “Nah, selain untuk memanjangkan umur, mengangkat permasalahan, sedekah juga mampu membuat orang yang belum kawin jadi kawin, dan yang udah kawin…” “Kawin lagi???” jawab beberapa peserta, kompak! Ustad Yusuf tertawa, “Yang udah kawin… makin sayang…”

Lalu mengalunlah sebuah cerita lain. Ada seorang wanita berusia 37 tahun yang belum menikah mengikuti seminarnya. Setelah mendengarkan faedah sedekah, wanita itu lantas pergi ke masjid terdekat dari rumahnya dan bertanya pada penjaga masjid itu, “Maaf, Pak… kira-kira masjid ini butuh apa? Barangkali saya bisa bantu…” “Oh, kebetulan. Kami sedang melelang lantai keramik masjid. Semeternya 150 ribu…” Wanita itu menarik sejumlah uang dari sakunya, yang berjumlah 600ribu. Tanpa pikir panjang ia membeli empat meter persegi lantai tersebut,”Mudah-mudahan hajat saya terkabul…” harapnya.

Subhanallah… Allah menunjukkan keagungan-Nya. Minggu itu juga datang empat orang melamarnya! “Itulah sedekah!”

Ustad Yusuf menantang mata peserta,”Sulit akan menjadi mudah, berat menjadi ringan… asal kita sedekah!”

Sebuah kisah unik lainnya terjadi. Suatu hari, seorang wartawan mengajak Ustad Yusuf ke Semarang, hanya untuk berpose dengan sebuah mobil Mercedez New Eyes E 200 Compresor baru. Tak ada yang istimewa dengan mobil itu kecuali harganya yang mahal, sekitar 725 juta rupiah, dan… mobil itu milik seorang tukang bubur keliling!

Loh, bagaimana bisa seorang tukang bubur punya mercy? Bisa aja kalau Allah berkehendak. Tukang bubur itu tentunya tak pernah bermimpi bisa memiliki sebuah mobil Mercedez baru. Namun kepeduliannya kepada orang tua, justru membuatnya kejatuhan bulan.

Karena orang tuanya ingin naik haji, tukang bubur itu giat sedekah. Ia sengaja menyediakan kaleng kembalian satu lagi, khusus uang yang ia sedekahkan. Yang kemudian ia tabung di sebuah bank. Ketika tabungannya itu telah mencapai 5 juta, ia mendapatkan satu poin memperebutkan sebuah mobil mercy. Dan si tukang bubur itulah yang memenangkan hadiah mobil tersebut.

Karena tak mampu membayar pajaknya sebesar 25%, seorang ustad bernama Hasan, pemilik Unisula, membantunya. Maka, jadilah mobil itu milik tukang bubur.

Kisah terakhir, tentang hutang 100juta yang lunas hanya dengan sedekah 100 ribu rupiah. Orang ini mendengarkan ceramah seorang ustad yang mengatakan, kalau sedekah itu dapat membeli penyakit, dapat membayar hutang, dan dapat menyelesaikan masalah. Teringat hutangnya sejumlah 100 juta, ia menyedekahkan uang yang ada, sebesar 100 ribu.

Dalam hatinya ia berharap hutangnya dapat cepat lunas. “Dan… Allah mengabulkan doanya secepat kilat. Begitu pulang dari pengajian, saat menyebrang jalan, orang itu tertabrak mobil dan lunaslah hutangnya!” seru Ustad Yusuf berapi-api.

Semua peserta melongo kemudian tertawa. Hampir semua menebak orang itu meninggal, sehingga si pemilik piutang mengikhlaskan hutangnya.

“Nggak!” koreksi Ustad Yusuf cepat, “Dia cuma pingsan. Kebetulan yang nabrak orang kaya. Selain dibawa ke rumah sakit, dia juga melunasi hutangnya!”

Itulah… Allah punya cara tersendiri untuk menolong hamba-Nya. Selain memberikan materi tentang sedekah, Ustad muda berkulit putih ini juga memberikan masukan dan saran tentang bagaimana tampil yang baik di hadapan audience (baik di televisi ataupun di ruangan), di antaranya mengajarkan teknik memotong materi (untuk commercial break) yang baik, sehingga pemirsa televisi enggan mengganti saluran dan tetap menunggu sampai iklan berakhir, lalu cara melibatkan emosi audience, melibatkan orang sekitar acara (baik outsider, maupun insider), intonasi suara, melakukan atraksi menarik, dan sebagainya.